sedikit celah;

sedikit celah; layaknya jendela untuk kau lebih jauh mengenalku...

Senin, 10 November 2008

LOVE AFFAIR - Analisis

(PERSELINGKUHAN,PREVENSI,DAN SOLUSI)
Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi


A R T I K E L

Penulis mengangkat artikel untuk dianalisis yaitu disadur dari
http://myhidayatullah.tblog.com
yang diakses pada Kamis, 19 April 2007.

LOVE AFFAIR (Perselingkuhan), prevensi, dan Solusi

Kasus-kasus love affair akhir-akhir ini semakin banyak dijumpai dalam praktek konsultasi perkawinan. Hal ini antara disebabkan karena telah terjadi peregeseran nilai tata social kehidupan bermasyarakat termasuk pada keidupan perkawinan, yang merupakan dampak dari perubahan-perubahan social yang serba cepat akibat modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebagai contoh misalnya kasus love affair yang terjadi masyarakat Amerika Serikat, disebutkan bahwa 75% para suami berselingkuh dan 40% para istri berselingkuh. Dalam tiga decade terakhir 60% dari perkawinanberakhir dengan perceraian dan 70% anak-anak broken home mengalami gangguan fisik, mental, dan social dalam perkembangannya. Sementara itu dari 5 perkawinan dalam 5 tahun pertama, 3 berakhir dengan perceraian (Family Crisis, APA, 1995). Penyebab utama dari love affair pada umumnya adalah melemahnya nilai-nilai moral etika agama. Contoh love affair yang spektakuler adala antara Pangeran Charles dengan Camilla, Putri Diana (Lady Di) dengan Dodi Al Fayeed, dan Bill Clinton dengan Monica Lewinsky. Uraian dalam buku ini menawarkan prevensi dan solusi perselingkuhan dari sudut pandang psikiatri/ psikologi dan moral etika agama, dilengkapi dengan 10 kasus perselingkuhan sebagai ilustrasi.



#Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi

Dari semua cabang ilmu kedokteran maka cabang ilmu kedokteran jiwa (Psikiatri) dan kesehatan jiwa (mental health) adalah yang paling dekat dengan agama; demikian pula halnya dengan ilmu jiwa (Psikologi). Bahkan dalam mencapai derajat kesehatan yang mengandung arti keadaan sejahtera (wellbeing) pada diri manusia, terdapat titik temu (convergence) antara Psikiatri/ Psikologi/ Kesehatan jiwa di satu pihak dan agama di lain pihak.

WHO sendiri telah mendefinisi batasan sehat dengan memasukkan dimensi spiritual/ agama di samping sehat dalam arti fisik, mental, dan social. Sejalan dengan hal tersebut di atas paradigma baru psikiatri Amerika menganut pendekatan holistic yaitu bio –psiko –sosio –spiritual (APA, 1992). Dalam buku ini diuraikan perkembangan Psikiatri dan Agama dalam upaya mensejaterakanumat manusia tidak lagi bersifat dikotomis melainkan terintegrasi. Dengan demikian antara Psikiater dan rohaniawan merupakan mitra; atau dengan kata lain Religion and Psychiatry merupakan Clinical Models of a Patnership (Rhonsheim, D.M., 1994). Untuk itu dimensi religi dianjurkan masuk dalam kurikulum pendidikan residen.


ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Love Affair Tinjauan Psikologis
Menurut tinjauan Psikologis love affair didasarkan oleh beberapa motivasi. Mulai dari mitos, perasaan dendam, perpecahan keluarga, dan seksualitas.
Pertama, love affair karena mitos. Perselingkuhan menjalin cinta dengan di luar nikah bagi kaum pria sering disebabkan mitos, yakni ingin menjadi satria dunia laki-laki seperti Arjuna dalam versi pewayangan. Hal yang diyakini oleh kaum laki-laki bahwa semakin banyak bisa menaklukkan hati wanita maka semakin tinggi derajat kejantanannya. Hal ini erat kaitannya dengan instink manusia yang memiliki nafsu birahi hewani.
Kedua, love affair karena perasaan dendam dengan pasangan resminya yang mendahului berselingkuh. Motif kedua ini erat hubungannya dengan keadaan rumah tangga yang kurang harmonis. Kalau yang satu selingkuh yang lain tidak mau kalah dan berselingkuh pula. Ujung-ujungmya menambah rumah tangga menjadi runtuh. Akhirnya yang menjadi korban adalah buah hati mereka. Perasaan dendam yang demikian jika diteruskan tidak akan ada hentinya.
Ada pula perselingkuhan yang dilakukan yang dilakukan oleh wanita karena ingin dekat dengan orang yang sangat pengertian padanya. Motivasi seperti ini bisa tumbuh di dalam keluarga yang kurang harmonis. Dikarenakan merasa mendapat perhatian lebih dari Pria Idaman Lain (PIL), wanita itu tega menyeleweng memasrakan jiwa raganya untuk mencapai kepuasan batin. Alasan yang lain karena pasangan resminya kurang memberi perhatian padanya entah karena kesibukan bisnis atau pekerjaan yang lain.
Alasan lain berselingkuh ialah didasarkan karena dorongan seks. Rata-rata perselingkuhan disebabkan dari factor seksualitas entah karena kurang puas berhubungan badan dengan pasangan resminya atau karena menemukan petualang seks yang memuaskan atau justru ingin ‘berpetualang’ (Baswardono, 2003).

Sedangkan menurut Annete Lawson perselingkuhan itu bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Perselingkuhan Tradisional
Jenis perselingkuhan yang pertama ini merupakan yang berlaku umum dilakukan orang. Perselingkuhan dilakukan dengan menggunakan waktu luang yang tidak dicurigai dan tidak diketahui oleh pasangan resminya.
Terdapat beberapa kasus misalnya; ada wanita yang mengaku shopping kepada suaminya tetapi ternyata ia masuk hotel berkencan dengan Pria Idaman lain. Tentu saja suaminya tidak menaruh curiga karena dilakukan pagi, siang atau sore hari. Perselingkuhan yang dilakukan antar rekan sekantor di hotel yang akhirnya digrebek oleh polisi saat melakukan razia. Kalau saja tidak tertangkap polisi maka istrinya tidak tahu. Adapula bapak-bapak yang berselingkuh menggunakan waktu luang ketika ikut seminar, lokakarya, rapat kerja, kunjungan kerja, dan lain-lain.
Perselingkuhan model ini sifatnya bertolak belakang. Yang melakukan affair tidak ingin pasangan resminya tahu karena rumah tangga tidak ingin runtuh. Biasanya trend dengan slogan “Selingan indah, keluarga utuh.”

2. Perselingkuhan Kolusif
Perselingkuhan ini dilakukan secara terang-terangan. Menjalin cinta dengan pasangan di luar nikah dilakukan secara terang-terangan dan diketaui oleh pasangan resminya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Biasanya kasus seperti ini terjadi karena salah satu dari pasangan (pria/wanita) itu lebih dominant dan lebih menguasai. Situasinya, pasangan yang satu lebih berkuasa atas yang lain, yang kalah tidak memiliki kekuatan mengendalikan pasangan, maka sampai berselingkuh pun ia tidak berani mencegahnya. Perselingkuhan dilakukan sesuka hatinya.

3. Perselingkuhan Rekreasional
Perselingkuhan ini disebut rekreasional karena yang melakukannya sudah mengabaikan norma adat dan aturan agama. Menjalin cinta di luar ikatan pernikahan hanya dianggap seperti rekreasi (bersenang-senang). Jika sering dilakukan menjadi suatu kegemaran atau hobi.
Terdapat sebagian besar pasangan yang melakukan perselingkuhan model ini dengan melibatkan pasangan resminya sehingga tidak ada rasa dosa, sungkan dan sebagainya. Seringkali kita dengar istilah three –in –one, pesta seks, tukar pasangan, dan lain-lain. Orang-orang yang melakukan perselingkuhan ini mengumbar nafsu untuk mencapai kepuasan batin.

Love affair merupakan gangguan?

Menurut Frederick H. Kanfer dan Arnold P.Goldstein, gangguan jiwa adalah kesulitan yang dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri.

Ciri-ciri gangguan jiwa menurut Kanfer dan Golstein (dalam Ancok, 1994) ialah:
1. Hadirnya perasaan cemas (anxiety) dan perasaan tegang (tension) di dalam diri.
Orang yang melakukan affair di luar nika akn dihantui perasaan cemas kalau-kalau perbuatannya diketahui oleh pasangan resminya, pikiran terasa tegang karena telah menyalahi norma di dalam masyarakat dan aturan agama. Perasaan dan akal berkecamuk sementara ia lebih dikuasai oleh nafsunya untuk melakukan zina yang separti itu.

2. Merasa tidak puas (dalam artian negatif) terhadap perilaku diri sendiri.
Pasangan resminya telah memberikan hal yang diinginkan, ia merasa telah memberikan timbal balik namun tetap saja ia tidak menemukan kepuasan atas apa yang ia lakukan. Kemudian ia melakukan affair dan ia menemukan kepuasan atas prilakunya.

3. Perhatian yang berlebih-lebihan terhadap problem yang dihadapi.
4. Ketidakmampuan untuk berfungsi secara efektif di dalam menghadapi problem.
Antar pasangan dalam keluarga dihadapi berbagai macam konflik dan masalah. Mereka tidak sanggup menyelesaikannya secara efektif, lari dari masala dan melakukan affair sebagai pelampiasannya.
Sedangkan gangguan menurut pendapat tokoh lain yaitu Abraham H. Maslow. Apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya maka ia akan mengalami gangguan jiwa (dalam Ancok, 1994).
Terdapat 5 kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow bertingkat-tingkat menurut hirearki. Kebutuhan tersebut mulai yang paling dasar ialah:
1. Kebutuhan fisiologis
*Berselingkuh didasarkan karena dorongan seks. Rata-rata perselingkuhan disebabkan dari factor seksualitas entah karena kurang puas berhubungan badan dengan pasangan resminya atau karena menemukan petualang seks yang memuaskan atau justru ingin ‘berpetualang’ (Baswardono, 2003).
*Pasangan kurang puas berhubungan badan dengan pasangan resminya. Ia merasa kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi kemudian ia mencari kepuasan pada orang lain dan melakukan affair.
2. Kebutuhan akan rasa aman (safety)
*Pasangan tidak menemukan ketentraman, kenyamanan, dan rasa aman dari pasangan resminya. Kebutuhannya tidak terpenuhi kemudian ia mencari kebutuhan akan rasa aman itu dari orang lain dan melakukan affair.
3. Kebutuhan akan rasa kasih sayang
*Love affair karena pasangan resminya tidak memberikan kasih sayang  kebutuhannya tidak terpenuhi sampai ia mengabaikan norama demi memperoleh kasih sayang dari pasangan lain di luar nikah.
4. Kebutuhan akan harga diri
*Misalnya pada perselingkuhan karena perasaan dendam pada pasangan resminya yang lebih dulu melakukan affair. Ia merasa harga diri sebagai suami/ istri terinjak-injak. Dengan begitu ia pun berbuat affair karena ia mampu dan mempertahankan harga dirinya itu.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri
*Berdasarkan kasus perselingkuhan karena mitos, ia ingin menjadi seorang arjuna. Ia merasa bisa mengaktualisasikan dirinya dengan melakuakan petualang seks. Hal yang diyakini oleh kaum laki-laki bahwa semakin banyak bisa menaklukkan hati wanita maka semakin tinggi derajat kejantanannya.
Berdasarkan uraian di atas maka love affair dikategorikan ke dalam prilaku gangguan. Kadang-kadang criteria-kriteria tersebut tidak dirasakan oleh penderita. Yang merasakan akibat dari prilaku penderita ialah masyarakat di sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya merasa bahwa prilaku yang dilakukan adalah merugikan bagi penderita, tidak efektif, merusak dirinya sendiri. Dalam kasus demikian seringkali terjadi. Orang-orang merasa terganggu dengan perilaku penderita (Ancok, 1994).

Love affair merupakan tingkah laku yang deviatif?

Seseorang dikatakan mengalami gangguan jika secara klinis dijumpai terdapat suatu penyakit, ketidaknormalan, atau terganggunya fungsi tertentu (fisiologis, psikologis). Deviasi menunjuk pada norma social bahwa orang yang deviasi jika melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).

Dalam beberapa hal, antara gangguan dan deviasi berhubungan, artinya orang yang mengalami gangguan sekaligus melakukan tindakan yang menyimpang secara social. Dalam kasus lain, tidak selalu keduanya sejalan, bahwa adakalanya orang yang mengalami gangguan tetapi tidak deviasi; atau orang yang deviasi social tetapi tidak mengalami gangguan (Notosoedirdjo & Latipun).
Berdasarkan atas penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa love affair merupakan suatu tingkah laku yang deviatif. Hal itu dikarenakan love affair melanggar norma masyarakat dan menyalahi aturan agama. Selain itu prilaku love affair menggannggu orang lain bahkan dirinya sendiri.


Agama dan Kesehatan Mental

* Perkembangan tentang ilmu pengetahuan saat ini tidak lagi secara dikotomis namun haruslah mengintegrasi antara satu dengan yang lain.
* Sebelum perang dunia II  dalam bidang agama dan psikoterapi boleh dikatakan belum muncul.
* Tahun berikutnya mulai berkembang keinginan untuk memadukan agama dan Psikoterapi  belum berhasil karena perbedaan pendapat tentang fungsi psikoterapis dan fungsi agamawan di dalam usaha penanggulangan gangguan jiwa. E. Mansell Pattison (1969) (dalam Ancok, 1994) --> salah satu tulisannya membuat lima kategori polarisasi pendapat dikalangan merekayang terlihat dalam psikoterapi:
1. Spiritual Reductionist --> gangguan jiwa disebabkan dosa kepada Tuhan  harus ada penyerahan diri secara total kepada Tuhan
2. Material Redoctionist--> kebalikan dari Spiritual Reductionist
3. Alternatives
4. Dualist
5. Specialist

*William James --> terapi yang terbaik bagi keresahan jiwa adalah keimanan kepada Tuhan  Dengan demikian antara Psikiater dan rohaniawan merupakan mitra; atau dengan kata lain Religion and Psychiatry merupakan Clinical Models of a Patnership (Rhonsheim, D.M., 1994).

*Prevensi dan Solusi Dimensi Religi
Pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa factor utama bagi suksesnya suatu perkawinan ialan seks dan percintaan trenyata tidaklah benar. Hal ini dikemukakan dari hasil penelitian Dr. Robert H. Lauer dan Dr. Jeanette C. Lauer dari Universitas San Diego. Penelitian yang telah dilakukan terhadap pasangan-pasangan yang hidup bahagia selama 15—60 tahun, membuktikan bahwa kebaagiaan mereka bukanlah semata-mata karena factor kehidupan seksual maupun percintaan, melainkan pada tiga factor (dalam Hawari, 1997):
1. Mereka percaya bahwa saling menyukai pasangannya dan beranggapan pasangannya semakin lama semakin menarik
2. Pasangan sependapat untuk hal-hal yang mendasar, kalaupun ada pertentangan, mereka tahu mengatasinya secara tenang tanpa ada rasa benci.
3. Pasangan percaya bahwa perkawinan itu lebih penting dari mereka berdua, merupakan hal yang suci, dan secara serius menanggapi janji perkawinan selalu bersama dalam suka maupun duka. Tidak mungkin kehidupan perkawinan selamanya menyenangkan, karenanya menepati janji bersama dalam suka dan duka adalah hal yang teramat penting.

Firman Allah Q.S. 30: 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri/ pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.
Ditinjau dari segi kesehatan jiwa, suami/istri yang terikat dalam suatu perkawinan tidak akan mendapat kebahagiaan, manakala perkawinan itu hanya berdasarkan pemenuhan kebutuhan biologis dan materi semata tanpa terpenuhinya kebutuhan afeksional (kasih sayang). Faktor afeksional yang merupakan pilar utama bagi stabilitas suatu perkawinan, merupakan kebenaran firman Allah SWT tersebut (Hawari, 1997).

Berdasarkan informasi dari Herring, 20 Mei 2001, Knight Ridder (dalam Barron & Byrne, 2003) mengenai sepuluh tips untuk memperkuat pernikahan:
1. Anda dapat menjadi benar atau Anda dapat menjadi bijak –tetapi tidak dua-duanya. Pilihlah dengan bijak.
2. Pelajari seni yang lembut dari kerja sama.
3. Bicarakanlah hal-hal yang penting.
4. Beri maaf sebanyak atau lebih banyak.
5. Rayakanlah apa yang Anda ingin Anda lihat lebih banyak. Penghargaan bisa memiliki efek jangka panjang.
6. Lebih dengarkan hati dari pada mendengarkan kata-kata. Langkah ini dapat menyebabkan penyelesaian konflik dan saling peduli satu sama lain.
7. Doronglah pasangan Anda untuk menggunakan talentanya.
8. Waspadai komunikasi Anda. Berbicara itu mudah, tetapi lebih sulit untuk berkomunikasi.
9. Bertanggung jawablah terhadap kontribusi Anda pada permasalahan
10. Jangan berasumsi bahwa hanya karena Anda sudah menikah, Anda tahu bagaimana caranya menikah.

Keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan harapan semua orang yang akan dan telah memasuki gerbang pernikahan. Terwujudnya suatu keluarga sakina bersumber pada firman Alla Q.S. Ar-Rum ayat 21.
Dalam Rindang 07 Tahun XXXII Pebruari 2007 mengulas mengenai tujuh langkah menuju keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, yaitu:
1. Ketenangan batin merupakan factor yang menentukan dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahamah (Junaedi, 2000).
2. Kebutuhan saat-saat bersama, masing-masing memiliki kebutuhan untuk diterima dan sekaligus menerima perasaan orang yang dicinta.
3. Penyesuaian diri terhadap perubahan dan perbedaan yang ada.
4. Saling menerima dan menutupi kelemahan/ kekurangan masing-masing.
5. Menghargai status, fungsi, dan peran masing-masing.
6. Saling membuka pintu maaf.
7. Sikap mesra dan romantis.
Kiranya dari uraian-uraian di atas dapat dijadikan suatu prevensi bagi adanya perpecahan keluarga karena berbagai masalah (misal terjadinya love affair, dll). Diharapkan keluarga dapat mengatasi masalah-masalah yang ada secara efektif. Dimana prevensi haruslah holistik yaitu meliputi prevensi yang bio-psiko-sosio-spiritual (APA, 1992).


DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Djamaludin Dr. dan Fuat Nashori Suroso. 1994. Psikologi Islami Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Barron, Robbert A dan Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga
Basri, Hasan Drs. 1995. Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hawari, Dadang, Prof. Dr. dr. H. 1997. Seri Tafsir Alqur’an bil Ilmi 04 Alqur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa Cetakan III. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa
http://myhidayatullah.tblog.com diakses Kamis, 19 April 2007
Notosoedirdjo, Moeljono dan Latipun. 2005. Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan Edisi Keempat. Malang: UMM Press
Panjebar Semangat. 24 April 2004. Nlusuri Donyaning Selingkuh. Oleh: Sudadi
Rindang 07 Tahun XXXII Pebruari 2007
Thohier, dalam Rindang no.05 Th.XXXII, Desember 2006

Tidak ada komentar: